Sabtu, 27 Desember 2014

Lelaki di Hadapanku ini

Lelaki di hadapanku ini telah menua. Aku lupa sejak kapan guratan-guratan itu terlukis di wajahnya. Aku lupa sejak kapan rambut tipis itu memutih. Maaf, aku lupa. Mungkin karena beberapa waktu ini kau sedikit teracuhkan.

Lelaki di hadapanku ini terus menggumamkan kalimat-kalimat yang tidak kumengerti. Tiba-tiba dia tertawa kecil. Menunjukkan senyuman lelahnya. Aku seperti pernah merindukan senyuman itu. Rasanya nyeri dan geli bersamaan. Mengingat betapa aku pernah sangat ingin melihat senyuman itu terlukis di wajahnya, dan sekarang aku malah berharap dia tidak pernah menunjukkan senyuman itu di depanku.

Lelaki di hadapanku ini kemudian melembutkan suaranya. Berkata dengan nada bijaksana, menasehati mungkin. Namun aku berusaha untuk tidak mencerna setiap kata yang dikeluarkannya. Dulu, dulu sekali, aku juga pernah mendengar kata-kata itu. Dia bilang untuk tidak terlalu memikirkan semuanya. Meskipun tidak mencerna, tapi aku menurut. Aku tidak akan memikirkan semuanya.

Lelaki di hadapanku ini menyudahi pembicaraan. Menyuruhku untuk kembali dan hidup dengan baik. Sekali lagi aku menurut. Aku selalu menurut. Untuk meninggalkannya seorang diri di ruang kesepian. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku akan merindukan sosok yang pernah sangat dekat denganku ini.

Seperti hari-hari sebelumnya setelah ia mengucapkan kata-kata menyedihkan padaku. Aku akan menjadi diriku yang pemikir, lalu kembali menjadi diriku yang lain. Diriku yang tidak pernah peduli. Seperti apa yang diperintahkan oleh lelaki di hadapanku ini.

Kamis, 25 Desember 2014

Gaea (Dewi Bumi)

Semalem aku nonton film di salah satu stasiun TV swasta yang judulnya "Percy Jackson and The Olympians : The Ligthning Thief". Film itu diangkat dari novel yang berjudul sama. Ceritanya tentang anak dari hasil perkawinan antara dewa-dewi olympus dan manusia. Dewa-dewi dalam cerita itu kemudian mengingatkan aku tentang sosok dewi yang bernama mirip dengan namaku yaitu Gaea, sang dewi bumi. Namaku sendiri adalah Ghea. Orang tuaku mengaku bahwa nama Ghea sebenarnya bukan terinspirasi dari dewi pada zaman yunani kuno tersebut, melainkan dari seorang desainer bernama Ghea Sukasah Panggabean. Meskipun begitu, aku tetep ngerasa bahwa nama Ghea sebenarnya lebih mencerminkan si dewi Gaea ini daripada si desainer dalam diri aku. Well walaupun aku sebenarnya juga sedikit tertarik pada fashion. Tapi aku ngerasa bahwa nama Ghea ini yang membuat aku menjadi seseorang yang mencintai bumi. Aku pernah menjadi pelopor penataan ruang, dan saat itu dalam kelompok, aku menjabat sebagai ahli lingkungan. Lalu aku pernah ikut olimpiade astronomi yang selain mempelajari tentang alam semesta, juga mempelajari tentang bumi tentunya. Dan seperti sebuah takdir yang memang telah disiapkan untukku, sekarang aku menjadi mahasiswi pada jurusan geologi. Selama empat tahun ke depan (aku harap kurang dari itu), aku akan mempelajari semua tentang bumi. Seluk-beluk bumi, hingga segala macam masalah yang menderanya. Suatu hari nanti aku akan menjadi sang ahli bumi. Aku akan melanjutkan tugas sang dewi Gaea untuk menjaga bumi, sebagai titisannya yang tidak resmi. Aku akan menjadi dewi bumi, yang mungkin hanya diakui oleh diriku sendiri. #Apasih-_-