Sabtu, 27 Desember 2014

Lelaki di Hadapanku ini

Lelaki di hadapanku ini telah menua. Aku lupa sejak kapan guratan-guratan itu terlukis di wajahnya. Aku lupa sejak kapan rambut tipis itu memutih. Maaf, aku lupa. Mungkin karena beberapa waktu ini kau sedikit teracuhkan.

Lelaki di hadapanku ini terus menggumamkan kalimat-kalimat yang tidak kumengerti. Tiba-tiba dia tertawa kecil. Menunjukkan senyuman lelahnya. Aku seperti pernah merindukan senyuman itu. Rasanya nyeri dan geli bersamaan. Mengingat betapa aku pernah sangat ingin melihat senyuman itu terlukis di wajahnya, dan sekarang aku malah berharap dia tidak pernah menunjukkan senyuman itu di depanku.

Lelaki di hadapanku ini kemudian melembutkan suaranya. Berkata dengan nada bijaksana, menasehati mungkin. Namun aku berusaha untuk tidak mencerna setiap kata yang dikeluarkannya. Dulu, dulu sekali, aku juga pernah mendengar kata-kata itu. Dia bilang untuk tidak terlalu memikirkan semuanya. Meskipun tidak mencerna, tapi aku menurut. Aku tidak akan memikirkan semuanya.

Lelaki di hadapanku ini menyudahi pembicaraan. Menyuruhku untuk kembali dan hidup dengan baik. Sekali lagi aku menurut. Aku selalu menurut. Untuk meninggalkannya seorang diri di ruang kesepian. Mungkin untuk beberapa hari ke depan aku akan merindukan sosok yang pernah sangat dekat denganku ini.

Seperti hari-hari sebelumnya setelah ia mengucapkan kata-kata menyedihkan padaku. Aku akan menjadi diriku yang pemikir, lalu kembali menjadi diriku yang lain. Diriku yang tidak pernah peduli. Seperti apa yang diperintahkan oleh lelaki di hadapanku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar